Banyak hal terntunya, kenapa tim redaksi (pusaka community) membuat judul di atas. Tidak hanya dari analisa
issue yang berkembang di media masa dan obsevasi lapangan, melainkan dengan investigasi
yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Kenapa dengan Dinas Perhubugan Kabupaten Sidoarjo ? ada beberapa
dinas yang menjadi prioritas tim redaksi untuk kita pantau dengan serius. Bukan
dinas/SKPD yang lain tidak penting, dengan keterbatasan sumberdaya sehingga
kita focus pada dinas tertentu yang kami anggap “penting” karena berdampak
langsung dengan kehidupan masyarakat (nyata).
Dari proses studi yang kami lakukan, sekilas dapat kita simpulkan
bahwa Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo seringkali mengeluarkan kebijakan
yang diskriminatif. Yang dimaksud adalah ketika obyek kebijakan tersebut
bersinggungan dengan pemilik modal, dishub cenderung “tidak bertaring”, tetapi
kalaupun obyek kebijakan tersebut berkaitan dengan masyarakat kecil dishub
“acuh tak acuh” dan seakan sebagai institusi yang tidak pernah melanggar hokum.
Pro
Pengusaha
Kita semua tahu, betapa ruwetnya jalan di sepanjang Lippo Plasa
dan Perumahan Kahuripan Nirwana ketika menjelang malam, lebih-lebih pada hari
sabtu malam minggu. Ini merupakan hal yang paling kongkrit yang harusnya
menjadi perhatian untuk dicari solusi. Sebagaimana hasil sidak yang dilakukan
oleh anggota panitia khusus (DPRD Kab. Sidoarjo) raperda analisa dampak lalu
lintas (andalalin), pada bulan Januari 2014, bahwa bangunan tersebut (Lippo
Plasa) masih belum mempunyai dokumen andalalin. Berdasarkan Perda andalalin
Kabupaten Sidoarjo Nomor 6 Tahun 2002 bahwa “analisis dampak lalu lintas harus dibuat sebelum
pembangunan kawasan (Pasal 6)”. Dan dalam perda tersebut disebutkan bahwa yang
bertanggugjawab atas penilaian (analisis dampak lalu lintas) adalah dinas
perhubungan. Pertanyaannya, kawasan tersebut (lippo plasa) sudah terbangun
megah, dokumen andalalin mana ? selama ini dishub kemana ?
Tahun kemarin, tim redaksi melakukan investigasi berkaitan dengan
keberadaan menara telekomunikasi (tower). Dari hasil investigasi telah
dilakukan ternyata banyak tower yang belum mendapatkan izin, tetapi pemerintah
membiarkan tower sersebut berdiri dan operasi. Sebagaimana regulasi yang ada,
bahwa dinas perhubungan merupakan salah satu perangkat daerah yang diberikan
kewenangan untuk menentukan titik bangunan tower berdasarkan satplan yang ada. Pertanyaannya, kenapa tower
bisa dibangun, padahal izinnya masih belum lengkap ? yang pasti ada oknum di
dinas terkait yang sengaja melakukan konspirasi dengan pengusaha dan kontraktor
tower.
Tidak hanya andalalin Lippo Plasa dan Tower saja, SPBU di tepi
jalan umum yang seharusnya mempunyai dokumen andalalin; kalau kita investigasi
ternyata masih banyak SPBU yang perizinannya (dokumen andalalin) masih belum
memenuhi syarat. Hal tersebut dapat kita lihat pada 2 tahun yang lalu. DPRD
pernah membuat panitia khusus (Pansus) yang ditugaskan untuk melakukan kajian
dan investigasi dari sekian keganjalan yang ada di bangunan SPBU, indomart (dan
sejenisnya), dan tower, karena diduga banyak yang perizinannya tidak lengkap,
khusunya andalalin. Entah apa yang terjadi, Pansus sendiri tidak mempunyai
rekomendasi yang kongkrit dan dapat dijadikan follow up eksekutif, khususnya
dishub.
Mencekik
Rakyat
Memungut jasa parkir merupakan program pemerintah yang
dimanfaatkan untuk pemasukan (keuangan) daerah setiap tahun (pendapatan asli
daerah). Berdasarkna peraturan perundang-undangan pungutan jasa parkir dibagi
menjadi dua. Pertama, pajak parkir; yang dipungut dari perseorangan atau badan
tertentu yang menyediakan jasa dengan membuat lahan parkir. Kedua, retribusi
parkir; yang dipungut melalui badan atau perseorangan dengan memanfaatkan lahan
parkir yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Yang menjadi pembahasan di lingkungan Pemda Sidoarjo setiap
pembahasan anggaran dan perencanaan kegiatan setiap tahun adalah retribusi
parkir. Setiap tahun dievaluasi oleh DPRD dan selalu disorot oleh masyarakat
adalah parkir berlangganan. Sampai hari ini pelaksanaannya masih belum dapat
optimal. Karena selain konstruk hukumnya tidak jelas, para juru parkir di
lapangan tidak dapat tertib dan dinas perhubungan tidak dapat menertibkan. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam setiap pembahasan di DPRD pada perencanaan
anggaran selalu ada rekomendasi dibubarkan atau dihapus, karena dianggap tidak
efektif dan merugikan masyarakat. Namun masih saja dinas terkait bersikukuh
untuk melaksanakannya. Ada apa ini ?
Banyak fakta di lapangan yang kita temukan dan menjadi bagian dari
materi kajian kita di redaksi berkaitan dengan pungutan parkir. Baik parkir
berlangganan maupun non berlangganan. Berbicara soal parkir berlangganan, kami
kira sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat pengguna jasa parkir
(berlangganan) yang bernomor polisi Sidoarjo (W) terkena pungutan dua kali;
saat pembayaran pajak kendaraan bermotor di samsat dan ketika saat parkir di
lahan parkir.
Ada fakta lain yang tentunya menarik kita eksplore di sini
sebagaimana temuan di lapangan oleh tim redaksi. Di sepanjang jalan di jantung
kota Sidoarjo masih banyak titik parkir yang masih belum dapat ditertibkan oleh
dishub. Misalkan di jalan Teukur Umar, Jalan Gajah Mada, dan Sekitar Alun-alun.
Kalau kita dapat mencermati dari rambu—di sepanjang jalan—bahwa rambu tersebut
tergambar huruf P tersilang, artiyan di larang parkir dan hurus S tersilang,
artinya dilarang stop. Ketika kita telusuri disana ternyata mereka juga membawa
karcis; tanda pembayaran retribusi resmi dari dishub. Ketika kita Tanya,
darimana karcis ini, mereka menjawab, beli di dinas perhubungan.
Titik parkir ini tentunya sangat kongkrit, bahwa ada oknum dishub
yang sengaja membiarkan area tersebut dijadikan lahan parkir dengan konsekuensi
bahwa mereka harus membeli karcis di dishub. Hal tersebut sangatlah tidak
logis, karena mereka (jukir) tidak mempunyai kepastian tempat, artinya suatu
saat para jukir akan digusur karena dianggap telah melanggar aturan dan
mengganggu jalur lalu lintas. Kalaupun para jukir dianggap melanggar aturan,
tentunya mereka tidak disuruh untuk membeli “karcis resmi” dimana hasil pungutan
tersebut masuk di kas daerah. Untuk itu, kami berharap dinas perhubungan dapat lebih
bijak. Dari sekilas yang kita eksplore harusnya juga menjadi materi evaluasi
dalam perencanaan pembangunan pada tahun berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar