Kritik terhadap Implentasi Kaidah Partisipatif dalam RPJPD Tahun 2005-2025 Kabupaten Sidoarjo
PENDAHULUAN
Sesuai amanah Pasal 260 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional yang dilakukan pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing.
Perencanaan pembangunan daerah juga harus mampu mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah dan dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah sesuai dinamika perkembangan daerah dan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka meliputi: Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD) untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional, Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan Rencana kerja pernbangunan daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
RPJPD merupakan dokumen rencana yang harus menjadi acuan bagi penyusunan rencana-rencana daerah dengan hirarki dan skala yang lebih rendah seperti RPJMD, RTRW Kabupaten, Renstra SKPD, dan RKPD. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010, Penyusunan RPJPD harus dilakukan melalui pendekatan teknokratis, partisipatif, politis, serta bottom-up dan top down process. Ini bermakna bahwa perencanaan daerah selain diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel, serta merupakan merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional.
Mengingat pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Sidoarjo saat ini telah Pada Pemilukada Kab. Sidoarjo tahun 2015 kemaren, dimana pasangan calon nomor urut 3 H. Saiful Ilah, S.H., M.Hum dan H. Nur Ahmad Syaifuddin, S.H. yang diusung Partai PKB memenangkan Pemilu, “pasangan tersebut memperoleh suara sebanyak 424.611 suara atau 58,97% dari total suara sah” (Keptusan KPU Kabupaten Sidoarjo Nomor:125/Kpts/KPU-Kab-014329888/2015, tentang penetapan pasangan calon Bupati dan wakil Bupati terpilihdalam pemilihan Bupati dan wakil Bupati Sidoarjo Tahun 2015.)
Bupati dan Wakil Bupati terpilih tersebut mengusung visi “Kabupaten Sidoarjo yang inovatif, Mandiri, sejahtera dan berkelanjutan”, jika dokumen penjabaran visi yang dibuat oleh pasangan calon terpilih, “dimana unsur visi “mandiri” dibreakdown menjadi dua misi yaitu (1) pemerintahan yang bersih dan akuntabel melalui penyelenggaraan pemerintahan yang aspiratif, partisipatif dan transparan, dan (2) meningkatnya perekonomian daerah melalui potensi basis industri pengolahan, pertanian, perikanan, pariwisata, UMKM dan koperasi serta pemberdayaan masyarakat”.
Sedangkan dalam melaksanakan program dan kegiatan dalam rangka pencapaian visi, misi dan arah pembangunan sebagaimana tertuang dalam RPJP Kabupaten Sidoarjo 2005-2025 maka Pemerintah Kabupaten wajib menerapkan 3 pilar dari Good Governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.
Pembangunan yang partisipatif merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran baru masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat tidak sekadar penerima manfaat atau objek pembangunan belaka, melainkan merupakan subjek dan agen pembangunan yang mempunyai posisi yang setral, strategis dan penting Tiga prinsip dasar penyelenggaraan pemerintah yang baik tersebut merupakan prasyarat kecukupan atas terlaksananya perencanaan jangka panjang daerah dengan baik dengan melibatkan semua pemangku kepentingan pembangunan Kabupaten Sidoarjo ( Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah atau RPJPD Tahun 205-2025, bab 6 Kaidah Pelaksanaan, h. 3.)
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang sangat penting dalam rangka menciptakan good governance, nah apakah kebijakan-kebijakan pemerintah yang baru ini, akan melibatkan rakyat dalam mengambil sebuah keputusan, seperti kebijakan dalam regulasi atau produk hukum daerah dan kebijakan pembangunan lainnya di Kab. Sidoarjo.
PEMBAHASAN
Partsisipasi Masyarakat dalam pembenrtukan Produk Hukum Daerah di Kabupaten Sidoarjo.
Setiap tahun Pemerintahan Kab. Sidoarjo menetapkan produk hukum daerah, baik itu berupa Peraturan daerah atau disingkat Perda, Peraturan Bupati atau Perbub yang sifatnya bisa peraturan atau ketetapan, yang dituangkan dalam Program Legislasi Daerah atau singkat Prolegda. Tahun 2015 yang dikutip dalam website; http://dprd-sidoarjokab.go.id, “ada sekitar 26 (dua puluh enam) rancangan Prolegda, dari 26 (dua puluh enam) Prolegda, ada 8 (delapan) Perda yang telah disahkan”, jika diprosentase maka 31% (tiga puluh satu) yang sudah menjadi Perda.
Minimnya Perda yang ditetapkan oleh Pemerintahan Kab. Sidoarjo, apakah dikarenakan bersamaan dengan proses Pemilkada Kab. Sidoarjo tahun 2015, kurang maksimalnya kinerja DPRD Kab. Sidoarjo, persoalan anggaran, ataukah tidak adanaya dorongan dari masyarakat dan partisipasi dalam proses pembentukan peraturan daerah.
Pada tahun 2015 ini, Pemerintahan Kab. Sidoarjo menetapkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2015 yang dimuat pada lembaran daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2015 Nomor 6 seri D, tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yang selanjutnya disingkat Perda pembentukan produk hukum daerah. Tulisan kali ini, menoba menganalisa sejauh mana partisipasi masyarakat dalam Perda di atas.
“Proses pembahasan dan penentuan peraturan di daerah secara teoritis dapat dilakukan dari dua jalur, yaitu jalur lembaga perwakilan daerah dan pemerintah daerah (kepala daerah), karena kedua lembaga tersebut penentuannya dilakukan secara langsung oleh rakyat di daerah, maka secara politis rakyat memiliki hak untuk berpatisipasi” Pasal 1 ayat 14 Perda No. 5 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dimana dalam pembentukan produk hukum daerah adalah pembuatan peraturan-perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan dan penyebarluasan.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan produk hukum daerah, memang telah diakomodir, hal ini bisa dilihat pada Pasal 87 ayat 1 dan 2 Perda pembentukan produk hukum daerah, dimana masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda, Perbub dan/atau Peraturan Bersama, hal ini dapat dilakukan dengan;
1. Rapat dengar pendapat umum;
2. Kunjungan kerja;
3. Sosialisasi; dan/atau
4. Seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Pasal 15 ayat 1 Perda pembentukan produk hukum daerah, dimana dalam rancangan Perda wajib disertai dengan penjelasan, atau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan Pasal 16 ayat 3 dan Pasal 19 Perda pembentukan produk hukum daerah, dimana penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akadmik dapat mengikutsertakan Peneliti dan/atau tim ahli atau kelompok pakar serta dalam penyusunan rancangan Perda tim penyusun dapat mengundang peneliti dan/atau tim ahli atau kelompok pakar dari Perguruan Tinggi atau organisasi kemasyarakatan sesuai kebutuhan.
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang sangat penting dalam rangka menciptakan good governance, jika melihat bentuk partisipasi masyarakat dalam Pasal 87 ayat 1 dan 2 Perda pembentukan produk hukum daerah, masyarakat selama ini dalam proses pembentukan Perda bersifat pasif, parsial dan simbolik, beberapa komunikasi massa yang dilakukan hanyalah sebegai pelengkap prosedur adanya basis research (penelitian dasar) yang melandasi pelaksanaan Perda. hal ini tidak sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon,“bahwa di tahun 1960 muncul konsep demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan”. Nah, hal inilah yang seharusnya dilakukan Pemerintahan Kab. Sidoarjo, menjadikan masyarakat sebagai bagian dari pengambil keputusan bukan sebagai pelengkap prosedur dalam pembentukan peraturan di daerah.
Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai berikut;
1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ Pembentuk;
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan;
7. Keterbukaan.
Proses pembentukan produk hukum daerah, mulai tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan dan penyebarluasan sangat penting untuk dilakukan. Nah, untuk membangun Perda yang partisipatif, asas keterbukaan menjadi penting untuk dilakukan, dimana proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan daerah.
Program pembentukan Perda yang disingkat Propem Perda, Pasal 4 ayat 2 Perda pembentukan produk hukum daerah, dimana penyusunan Propem Perda, memuat daftar rancangan Perda yang didasarkan atas;
1. Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
2. Rencana pembangunan daerah;
3. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
4. Aspirasi masyarakat daerah.
“Pemenuhan terhadap syarat-syarat dibuatnya ketetapan menjadi sangat penting, agar ketetapan yang dibuat menjadi sah, yang artinya tidak terpenuhinya syarat-syarat ketetapan, akan menyebabkan suatau ketetapan tidak sah (nietrechtsgelding). Akibat hukum dari ketetapan yang tidak sah adalah, ketetapan batal karena hukum (nietigheid van rechtswege), ketetapan batal (nietig) atau ketetapan dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Jika melihat dasar Propem Perda di atas, empat syarat tersebut merupakan satu-kesatuan, karena pada poin (C) ditambahi kata “dan”, sehingga apabila empat syarat tadi tidak terpenuhi, maka Propem Perda yang nantinya ditetapkan menjadi Perda dapat berakibat hukum, Perda yang telah ditetapkan dapat batal karena hukum atau dibatalkan.
Aspirasi masyarakat daerah merupakan hal penting, dikarenakan masyarakat di didaerah adalah mengetahui tentang dirinya dan permasalahan yang melingkupinya. Nah, bagaimana mengptimalkan peran serta masyarakat dalam optimalisasi Perda, menurut Rival G. Ahmad, ada 8 (delapan) prinsip, yaitu;
Adanya publikasi yang efektif.
Adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas dan aksesabel;
Adanya jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat untuk terlibat dalam mengawasi proses.
Adanya prosedur yang menjamin publik bisa mengajukan RUU selain anggota DPRD dan Pemerintah. Adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan aksesabel seperti naskah akademik dan Raperda.
Adanya jaminan banding bagi publik bila proses pembentukan perda tidak dilakukan secara partisipatif. Ada pengaturan jangka waktu yang memadai untuk seluruh proses penyusunan, pembahasan Raperda dan diseminasi perda yang telah dilaksanakan. Ada pertanggung jawaban yang jelas dan memadai bagi pembentukan peraturan daerah yang dengan sengaja menutup peluang masyarakat untuk berpartisipasi.
Nah, jika diamati Perda pembentukan produk hukum daerah di Kab. Sidoarjo, maka ada beberapa catatan, yaitu, tidak adanaya prosedur yang menjamin publik bisa mengajukan rancangan Perda selain anggota DPRD dan Pemerintah, tidak adanya jaminan banding bagi masyarakat, bila proses pembentukan perda tidak dilakukan secara partisipatif, tidak adanya pertanggung jawaban yang jelas dan memadai bagi pembentukan peraturan daerah yang dengan sengaja menutup peluang masyarakat untuk berpartisipasi dan tidak danya jaminan prosedur dan forum yang terbuka, efektif bagi masyarakat untuk terlibat dalam mengawasi proses dan tidak adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas dan aksesabelseperti naskah akademik dan Raperda.
Partisipasi Masyarakat dalam kebijakan Tata Ruang di Kabupaten Sidoarjo. Dalam analisis isu-isu strategis Rencana pembangunan jangka panjang daerah RPJPD Kabupaten Sidoarjo tahun 2005-2025, salah satu isu strategis adalah Peningkatan investasi di daerah yang kurang diimbangi dengan keserasian penataan ruang dan pengendalian lingkungan.
Posisi Kabupaten Sidoarjo yang strategis dengan didukung kelengkapan infrastruktur wilayah menjadi daya tarik kuat untuk penanaman modal dan investasi di Kabupaten Sidoarjo. Seiring dengan meningkatnya penanaman investasi tersebut, penataan ruang wilayah Kabupaten Sidoarjo harus mampu mengakomodasi potensi perubahan ruang wilayah yang diakibatkannya sehingga penciptaan ruang yang serasi dan terpadu antar semua komponen di dalamnya dapat terwujud. Demikian pula pada aspek pengendalian pencemaran lingkungan, investasi yang masuk ke Kabupaten Sidoarjo haruslah ramah lingkungan guna menjaga keseimbangan alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Pemerintah kabupaten Sidoarjo tidak mempunyai planiing dari isu-isu strategis dalam RPJPD, hal ini terbukti kabupaten Sidarjo yang 3 tahun ini mengalami banjir, menurut Pakar tata kota dari ITS Surabaya Putu Rudi Setiawan “rencana tata ruang Kabupaten Sidoarjo bersifat promotif, tata ruang seperti itu cenderung menciptakan perkotaan baru yang meluas hingga kecamatan-kecamatan, Sidoarjo makin lama tumbuh sebagai perkotaan baru. Ini terlihat dari banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi perumahan, pergudangan, atau perkantoran. Pemkab juga cenderung mendorong pengembang untuk membangun perumahan di berbagai kecamatan”. Ini tidak sesuai dengan arah kebijakan dalam RPJPD Sidoarjo, dimana “Misi 3: Menfasilitasi Pembangunan Infrastruktur Guna Mendorong Peningkatan Pembangunan yang Proporsional, Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan”. Dimana banyak rung terbuka hijau yang dijadikan pemukiman atau perumahan, industri dan mall atau pertokoan atau ruko.
Pentingnya perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan (PPLB) merupakan perencanaan penggunaan lahan yang menekankan metode pemetaan partisipatif dan perencanaan tata guna lahan yang lebih detil. Proses ini menekankan pada lima aspek besar yaitu sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan. Peran Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan (PPLB), dapat dilakukan melaui peta partisipatif dapat mendukung sekaligus memberi masukan kritis terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW. Menurut Oswar Muadzin Mungkasa, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasonal (PPN/Bappenas) “menuturkan bahwa rencana tata ruang perdesaan yang merupakan bagian dari kabupaten harus tercakup dalam rencana tata ruang kabupaten. Pembangunan kawasan perdesaan tersebut meliputi penyusunan rencana tata ruang perdesaan secara partisipatif”.
Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bawha Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan,antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini bisa dilakukan melaui form diskusi desa, kecamatan dan dilanjutkan ke kabupaten. Hal ini juga sesuai dengan Perda No. 6 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Sidoajo Tahun 2009-2029. Pasal 140 ayat 1 dan ayat 2, dimana penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran serta masyarakat, dan peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan,antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Peluang aspirasi masyarakat secara bottom up dilakukan dalam sebuah proses musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan), dalam proses ini pemangku kepentingan pemerintah dan masyarakat berdiskusi dan mencapai kesepakatan tentang kebijakan yang akan diambil. faktanya, hasil masukan dari masyrakat di musrenbang tidak digunakan tidak digunakan dalam rencana pembangunan, masyarakat hanya pelengkap prosedur dari musrenbang. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan kaidah RPJPD Sidoarjo tahun 2005-2025, dimana salah satu prinsip partisipatif yang menyebutkan bahwa:
“Pembangunan yang partisipatif merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran baru masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat tidak sekadar penerima manfaat atau objek pembangunan belaka, melainkan merupakan subjek dan agen pembangunan yang mempunyai posisi yang setral, strategis dan penting. Tiga prinsip dasar penyelenggaraan pemerintah yang baik tersebut merupakan prasyarat kecukupan atas terlaksananya perencanaan jangka panjang daerah dengan baik dengan melibatkan semua pemangku kepentingan pembangunan Kabupaten Sidoarjo”.
konsep yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon,“bahwa di tahun 1960 muncul konsep demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan”. Nah, hal inilah yang seharusnya dilakukan Pemerintahan Kab. Sidoarjo, menjadikan masyarakat sebagai bagian dari pengambil keputusan bukan sebagai pelengkap prosedur dalam perencanaan tata ruang di kabupaten Sidoarjo.
0 comments:
Post a Comment